Kamis, April 22, 2010

Mengukur Diri

Apr 17, '10 7:39 AM
for everyone

Beberapa menit lagi adzan Isya' berkumadang, segera mempercepat langkah. Lumayan, jarak tempat saya tinggal dengan Masjid bisa menghabiskan minum satu gelas. Menyusuri sepanjang jalan yang penuh dengan penjual di kanan dan kirinya. Kebisingan dan kesemrawutan kota yang sangat teramat biasa dengan gumulan suara kendaraan, transaksi jual-beli dan lalu lalang para pejalan kaki. Hanya saja, saya yang masih belum terbiasa meski itu bukanlah hal yang baru.

Sebuah kejadian selintas yang memberikan kesan dan mampu mencuri perhatian terjadi. "Tek!" Pas mata kami bertatapan dalam posisi berlawanan. Entah kenapa, ada perasaan mendalam yang begitu terasa dengan pagutan mata selintas itu.

Pada langkah yang kian cepat, konsent saya kini bukan ke masjid lagi, tapi pada seorang lelaki cilik berkaos kuning dan celana pendek lusuh, dengan panggulan kantong gandum besar berisi botol bekas dan "barang-barang berharga" lainnya. Saya taksir usianya sekitar tujuh atau delapan tahun. Mengembarakan pikiran padanya, bagaimana kehidupan bocah itu sepuluh tahun lagi, akankah dia tetap begitu? Ah... Allah penentu segala nasib.

Ada kesyukuran menyeruak dari diri, dengan takdir yang lebih baik teranugerahkan.

"Takdir yang lebih baik?"

Saya mencoba me-review kalimat yang baru saja terdetik di hati. Takdir yang lebih baik, takdir yang lebih beruntung. Benarkah pada hakikatnya demikian? Bukankah Allah itu maha adil. Lalu atas dasar apa seseorang merasa bernasib lebih baik atau lebih beruntung? Dan benarkah demikian?

Teringat untaian nasehat dari sebuah kajian, bahwa anak kecil itu bersih, tanpa dosa. Jika saja saat itu, ketika kami berpapasan Allah mentakdirkan ada kendaraan yang menyerempet kami berdua dan meninggal. Maka pertanyaannya kemudian, siapakan yang lebih berpeluang ke surga, pun siapakah yang lebih berpeluang ke neraka? Anak itu yang masih bersih meski mungkin malam itu dia tidak menunaikan shalat isya', meski memiliki keterbatasan ilmu dalam kefakiran, atau saya yang jelas-jelas sudah baligh meski sholat lima waktu terpenuhi, meski sudah tarbiyah dalam hitungan tahun?

Pada kenyataannya, jika pada akhirnya hal itu benar-benar terjadi, maka dalam pandangan Allah, anak itu jauh lebih baik, jauh lebih bersih dan jauh lebih berhak mendapatkan surgaNya. Lalu, apa yang bisa dibanggakan sekarang? Dari seorang saya yang selintas lalu merasa memiliki takdir yang jauh lebih baik. Adalah Allah swt, Dzat yang maha mengetahui, telah membagi-bagi takdir sesuai porsi dan takaran setiap insan.

Dua jempol untuk lelaki kecil berkaos kuning dan celana pendek lusuh, karena tidak mungkin dia ditakdirkan demikian saat ini, kecuali dia adalah sosok bocah dengan jiwa yang kuat.

***

RF_Kota kembang, 16 April 2010
*pic, taken from : http://farm1. static.flickr. com/100/29906174 7_ed7402d6f9_ b.jpg

Sayang deh kalo ga di upload di blog.. :D

My bizniz

banner daftar

Find this

Follow Me